siapa yang tak menyangka Ali Imron seorang mantan pelaku bom bali 1 memiliki wawasan soal kebangsaan. dalam penyampaiannya, Saya atas nama Ali Imron, pelaku bom Bali yang
paling banyak terlibat, untuk kesekian kalinya meminta maaf kepada
keluarga korban.”
Itulah petikan kalimat yang terlontar dari mulut terpidana kasus bom
Bali I, Ali Imron saat mengisi acara Kajian Ramadan bertema ‘Peran
Islam untuk Perdamaian Indonesia’. Acara itu digelar Wahid Institute
dengan mengambil tempat di Masjid Al Fataa, Jakarta, Selasa (28/6).
Imron memakai baju abu-abu dan berpeci sore itu. Janggutnya pun
dibiarkan menggantung. Dia menyatakan dirinya tak pandai berceramah,
namun hanya membeberkan fakta yang terjadi tentang terorisme—penggalan
sejarah hidupnya.
Baginya, pemahaman fakta tentang terorisme adalah cara untuk melawan
terorisme itu sendiri. “Saya sudah siap, saya sudah bertekad
menghentikan aksi-aksi terorisme, khususnya di Indonesia,” ujarnya. Imron mengatakan niat untuk menyebarkan paham pembongkaran
radikalisasi itu bukan atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme ataupun Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri.
Tetapi,
sambungnya, sesaat setelah dirinya tertangkap. International Crisis Group (ICG) menyebutkan Ali Imron, adik dari
pelaku Bom Bali lainnya Amrozi, bergabung ke Malaysia pada 1990 bersama
abangnya itu. Dia tinggal sekitar 8 tahun untuk belajar di Luqmanul
Hakiem, Johor.
Di sela-sela masa belajar, dia mendapat kesempatan
belajar setahun di Pakistan. Ketika kembali ke Tanah Air, dia mengajar
di Pondok Al-Islam, Lamongan, Jawa Timur. Dalam peristiwa Bom Bali I
pada 2002, Imron membawa mobil dari Lamongan ke Bali, yang digunakan
dalam peristiwa tersebut.
Dan dia menyatakan penyesalannya sore itu. Ini dibuktikannya dengan menerima vonis yang diterimanya pada 2003:
penjara seumur hidup. Imron menjelaskan dirinya sengaja tak menolak
vonis lantaran takut kembali menyakiti perasaan korban dan keluarga.
Di sisi lain, dia menduga sebagian besar masyarakat di Indonesia belum
paham soal terorisme. Menurutnya, wajah terorisme masih dilihat sebagai
kejahatan individu dengan penutup wajah, menenteng senjata dan bahan
peledak.
Padahal, kata Imron, bisa juga dilakukan oleh mereka yang rajin
beribadah. Tak hanya itu, namun juga oleh mereka yang bersikap sopan di
tempat tinggalnya. Dia pun menyebutkan contoh. Salah satunya, ledakan bom bunuh diri
saat salat Jumat di Markas Polres Kota Cirebon pada April 2011.
Pelakunya, Muhammad Syarif, 32 tahun.
“Jamaah salat dibom, ada tersangka yang ditangkap Detasemen Khusus
88 Anti Teror, tapi tetangganya marah-marah,” kata Imron. “Marah kenapa?
Karena tidak percaya dia (pelaku) adalah teroris, karena sopan, rajin
ke masjid dan mengaji.”
Oleh karena itu, pemahamanan soal terorisme merupakan dasar untuk
melakukan pencegahan. Jika urung dipahami, kata Imron, hal serupa dapat
terjadi lagi di masa mendatang. Sore itu, dia juga menceritakan awal keterlibatannya dalam Bom
Bali I.
Dia mengatakan dirinya bergabung ke Jemaah Islamiyah (JI),
organisasi militan di Asia Tenggara yang berdiri pada 1993—yang
bertujuan mendirikan negara Islam. Saat begabung ke JI, Imron
mengatakan, dirinya disumpah langsung oleh Abdullah Sungkar, selaku Amir
atau pendiri JI.
Walaupun demikian, dia akhirnya menyadari, aksi bom adalah hal yang
merugikan. Kala itu, dia berpikir aksi teror yang dilakukannya adalah
jihad di jalan Allah. “Yang saya lakukan jihad fisabilillah, tapi
ternyata bertentangan dengan fikih jihad yang benar,” ujar Imron. Saya mendengarkan ceritanya sore itu.
Mulai dari soal pelbagai
pertemuan hingga persiapan peledakan bom 14 tahun silam. Namun, saya
kira, dia ingin menegaskan sesuatu. Masyarakat harus memahami terorisme
untuk melawannya. “Jangan percaya dengan apa yang akhirnya membuat kita membenci tidak karuan,” tegasnya. “Itu jihad yang salah.”
EmoticonEmoticon