JAKARTA, Arrahmahnews.com –
Detik-detik hari kemerdekaan RI memasuki tahun ke 70, disana-sini
bendera merah putih berkibar, disetiap sudut dan lorong kota dan desa,
gegap gempita karnaval kemerdekaan dirayakan dengan begitu ramainya, ada
lomba panjat pinang, makan krupuk, dan lain-lain tapi itu hanyalah
hiburan rakyat utnuk sedikit menghilangkan rasa atas penatnya kehidupan.
Meskipun kita bangsa dan negara Indonesia masih dalam penjajahan oleh para perampok kepentingan. Perayaan kemerdekaan ini adalah momen untuk mengenang kembali jasa-jasa para pahlawan kita yang telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk mempertahankan Indonesia, tapi kita warga Indonesia mungkin tidak banyak tahu tentang seorang pejuang yang amat sangat gagah berani melawan Penjajah, dialah bapak Proklamotor dan pejuang tangguh dari Gorontalo Nani Wartabone.
Meskipun kita bangsa dan negara Indonesia masih dalam penjajahan oleh para perampok kepentingan. Perayaan kemerdekaan ini adalah momen untuk mengenang kembali jasa-jasa para pahlawan kita yang telah menyerahkan jiwa dan raganya untuk mempertahankan Indonesia, tapi kita warga Indonesia mungkin tidak banyak tahu tentang seorang pejuang yang amat sangat gagah berani melawan Penjajah, dialah bapak Proklamotor dan pejuang tangguh dari Gorontalo Nani Wartabone.
![]() |
Nani Wartabone dan Istri |
Nani Wartabone (lahir 30 Januari 1907 –
meninggal di Suwawa, Gorontalo, 3 Januari 1986 pada umur 78 tahun), yang
dianugerahi gelar “Pahlawan Nasional Indonesia” pada tahun 2003, adalah
putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo.
Perjuangannya dimulai ketika ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong
Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua
Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo.
Tiga tahun
sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia
bersama masyarakat setempat terlebih dulu memproklamasikan kemerdekaan
Gorontalo, yaitu pada tanggal 23 Januari 1942. Setelah tentara Sekutu dikalahkan Jepang
pada Perang Asia-Pasifik, Belanda merencanakan pembumihangusan Gorontalo
yang dimulai pada 28 Desember 1941 dengan mulai membakar gudang-gudang
kopra dan minyak di Pabean dan Talumolo.
Memimpin perlawanan rakyat
Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo
mencoba menghalanginya dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih
ada di Gorontalo. Pada 23 Januari, dimulai dari kampung-kampung di
pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa (tempat lahirnya Agusrianto
Huladu), Kabila dan Tamalate, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo
bergerak mengepung kota. Pukul lima subuh Komandan Detasemen Veld
Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo
menyerah.
Proklamasi kemerdekaan
Selesai penangkapan, Nani Wartabone
memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi
lagu “Indonesia Raya” di halaman Kantor Pos Gorontalo. Peristiwa itu
berlangsung pada pukul 10, dan Nani Wartabone sebagai inspektur
upacaranya.

Di hadapan massa rakyat, ia berpidato:
“Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang
berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dari penjajahan bangsa mana
pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah
Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah
Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”
Sore harinya, Nani Wartabone memimpin
rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang
berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai
ketuanya. Empat hari kemudian, Nani Wartabone
memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar
Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah
diproklamasikan itu dengan risiko apapun.
Jepang menguasai Gorontalo
Sebulan sesudah “Proklamasi Kemerdekaan
Nasional” di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari
sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di
pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang
ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata
sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan
menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang. Nani Wartabone menolak permintaan ini.
Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan. Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati.
Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang. Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan.
Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan. Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati.
Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang. Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan.
Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.
Jepang kalah
Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang
masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat
Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari
Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari
itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah
diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942.
Anehnya, setelah penyerahan
kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui
telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan
harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945. Untuk memperkuat pemerintahan nasional di
Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani
Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan
pertahanan.
Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang
dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan
lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat
strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa
bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini
pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng
pertahanan mereka.
Setelah menerima berita proklamasi di
Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan
Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala
pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para
ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkom yang pernah
menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala
Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan
tersebut.
Ditangkap Belanda
Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung
lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika
itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali
menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo. Mereka berpura-pura mengundang
Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang
Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya.
Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado. Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di
Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan
tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani
Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara
Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946.
Hanya sebelas hari di
Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali
mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan
Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai
dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan
Indonesia.
Kembali ke Gorontalo
Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone
kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan
kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya
menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan
tangis. Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut
oleh rakyat Gorontalo.
Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan
dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme. Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi
kepala pemerintahan kembali. Namun Nani Wartabone menentang bentuk
pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada saat itu.
Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur.
Menurutnya, RIS
hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia
tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi. Nani Wartabone kembali menggerakkan
rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI.
Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia
pertama yang menyatakan menolak RIS.
Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani
Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya
kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara,
dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih
tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang
dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.
Melawan PERMESTA
Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai
petani kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di
Gorontalo setelah Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya
memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret
1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la kembali
memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan
PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di
Jakarta.
Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih
kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu,
ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekedar
menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah,
pasukan Nani Wartabone digelari “Pasukan Rimba”.
Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone
agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan dari Pusat. Baru pada
bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512
Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari
Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa.
Berkat bantuan kedua pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan
inilah, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di
Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958. Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di
Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali dipercaya memangku jabatan-jabatan
penting. Misalnya, sebagai Residen Sulawesi Utara di Gorontalo, lalu
anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani.
Setelah peristiwa G30S tahun
1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat Gorontalo
guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu. Nani Wartabone
yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional
dan anggota DPA itu, akhirnya menutup mata bersamaan dengan
berkumandangnya azan salat Jumat pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai
seorang petani di desa terpencil, Suwawa, Gorontalo.
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional
Pada peringatan Hari Pahlawan 2003,
Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional
kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah
seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada
tanggal 7 November 2003.
Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu. (ARN/BerbagaiSumber/MM)
Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003. Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu. (ARN/BerbagaiSumber/MM)
EmoticonEmoticon