Pesawat Nir-Awak atau Pesawat TerbangTanpa Awak atau disingkat PTTA, atau dalam bahas Inggris disebut UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau sering disebut juga sebagai Drone,
adalah sebuah mesin terbang yang berfungsi dengan kendali jarak jauh
oleh pilot atau mampu mengendalikan dirinya sendiri. Penggunaan terbesar
dari pesawat tanpa awak ini adalah dibidang militer.
Secara teknis, Drone berbeda dengan Rudal walaupun
mempunyai kesamaan, tapi tetap dianggap berbeda dengan pesawat tanpa
awak, karena Rudal tidak bisa digunakan kembali dan rudal adalah senjata
itu sendiri. Sedangkan Drone menggunakan hukum aerodinamika untuk
mengangkat dirinya, bisa digunakan kembali dan mampu membawa muatan baik
senjata maupun muatan lainnya.
Drone bukan hal asing bagi ilmuwan Indonesia. Lembaga riset di Indonesia seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) serta beberapa Universitas riset sudah membuat prototipenya, sudah laik terbang dan sudah pula digunakan.
Selain itu, di Bandung juga ada berderet industri swasta yang
bergerak di bidang pengembangan UAV seperti Globalindo Technology
Services Indonesia, Uavindo, Aviator, dan Robo Aero Indonesia. Juga ada
perusahaan berbasis aeromodelling sebagai pemasok suku cadang UAV
seperti Telenetina dan Bandung Modeler.
Ada beberapa Drone buatan putra bangsa yang selama ini tak banyak orang tahu. Seperti apakah drone buatan anak negeri? Apa saja kemampuannya? Insinyur rekayasa di BPPT Ir. Adrian Zulkifli pernah mengatakan sejak
Oktober 2012 lalu, bahwa biaya pembuatan satu pesawat prototipe ini
kira-kira Rp 2 miliar.
Mesin drone buatan BPPT masih diimpor dari Jerman
dan kameranya didatangkan dari Taiwan. Lima pesawat prototipe dari BPPT ini diuji cobakan di Bandara Halim
Perdanakusuma pada Oktober 2012. Pesawat-pesawat drone BPPT ini dinamai PUNA alias Pesawat Udara Nir-Awak.
Pesawat-pesawat ini berfungsi antara lain sebagai pesawat pengintai,
pemotretan udara pada area yang sangat luas, pengukuran karakteristik
atmosfer, dan pemantauan kebocoran listrik pada kabel listrik tegangan
tinggi. Pesawat-pesawat ini juga cocok digunakan untuk daerah
perbatasan.
Selain itu, baru-baru ini, TNI AD bekerja sama dengan Universitas Surya
yang dikomandani ilmuwan Johanes Surya juga memamerkan prototipe
pesawat Drone untuk kebutuhan militer. LAPAN juga memiliki jumlah
koleksi model pesawat tanpa awak ini sebanyak tiga unit. Jadi seliruhnya
ada 8 buah jenis Drone yang telah dibuat Indonesia. Bahkan Lapan
sanggup membuat drone yang per unit hanya Rp 40 juta.
Mari kita lihat model Pesawat Tanpa Awak UAV atau Drone buatan anak bangsa ini:
1. BPPT PUNA Sriti
Pesawat Tanpa Awak atau PUNA (Pesawat Udara Nir-Awak) bernama Sriti ini berwarna putih.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak PUNA Sriti:
- wingspan: 2.988 mm
- MTOW (Maximum Take Off Weight): 8,5 kilogram
- cruise speed: 30 knot
- endurance: 1 jam
- range: 5 nautical mile
- altitude: 3.000 feet
- catapult: 4.500 mm
- catapult: bungee chords
Pesawat Terbang Tanpa Awak (PTTA), PUNA Sriti besutan BPPT ini adalah
wahana udara nir-awak jarak dekat dengan konfigurasi desain flying wing menggunakan catapult (pelontar) sebagai sarana lepas landas atau take off, dan jaring sebagai sarana mendarat atau landing.
Sriti untuk surveillance. Karena bisa take off dengan
peluncuran dan landing di jaring maka bisa dipakai untuk melengkapi
Angkatan Laut pada peralatan di KRI. PTTA PUNA Sriti ini bisa melihat ke depan sejauh 60-75 km. Jadi bisa
dikatakan sebagai mata KRI.
Selain itu, PTTA PUNA Sriti dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pengamanan lokal area seperti bandara. PTTA
PUNA Sriti Bisa juga dipakai untuk tindakan SAR di gunung-gunung, karena
lebih efektif.
2. PUNA Alap-alap
PUNA Alap-alap ini bermotif loreng tentara dengan warna hijau tua dan hijau muda.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak PUNA Alap-alap:
- wingspan: 3.510 mm
- MTOW (Maximum Take Off Weight): 18 kilogram
- cruise speed: 55 knot (101,86 km/jam)
- endurance: 5 jam
- range: 140 kilometer
- altitude: 7.000 feet
- payload: gymbal camera video.
PUNA Alap-alap adalah wahana udara nir-awak jarak menengah dengan konfigurasi desain inverted V-tail dan double boom menggunakan landasan sebagai sarana take off. Alap-alap didesain long race. Hanya untuk kebutuhan surveillance saja.
3. PUNA Gagak
PUNA Gagak ini bermotif loreng dengan warna oranye dan putih.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak Puna Gagak:
- wingspan: 6.916 mm
- MTOW (maximum take off weight): 120 kilogram
- cruise speed: 52 – 69 knot (96,3 – 127,8 km/jam)
- endurance: 4 jam
- range: 73 km
- altitude: 8.000 feet
- payload: gymbal camera video.
PUNA Gagak adalah wahana udara nir-awak jarak jauh dengan konfigurasi desain V-tail, low wing dan low boom, menggunakan landasan sebagai sarana take off dan landing. Puna Gagak sama dengan PUNA Pelatuk (lihat dibawah) tetapi
berbeda misi. PUNA Gagak dapat terbang untuk misi rendah-naik-rendah
lagi dan bisa digunakan untuk Angkatan Laut.
4. PUNA Pelatuk
Pesawat Tanpa Awak PUNA Pelatuk ini bermotif loreng dengan warna putih, abu-abu dan krem.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak PUNA Pelatuk:
- wingspan 6.916 mm
- MTOW (Maximum Take Off Weight) 120 kilogram
- cruise speed 52 – 69 knot (96,3 – 127,8 km/jam)
- endurance 4 jam
- range 73 km
- altitude 8.000 feet
- payload=gymbal camera video.
PUNA Pelatuk adalah wahana udara nir-awak jarak jauh dengan konfigurasi desain V-tail inverted high wing dan high boom, menggunakan landasan sebagai take off dan landing. Kemampuan terbang PUNA Pelatuk dapat bermanuver low-high-low, menukik ke bawah, kemudian naik lagi.
5. PUNA Wulung
PUNA Wulung ini bermotif loreng hijau tosca dan abu-abu.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak PUNA Wulung:
- wingspan: 6.360 mm
- MTOW (maximum take off weight): 120 kg
- cruise speed: 60 knot (111.12 km/jam)
- endurance: 4 jam
- range: 120 KM
- length: 4.320 mm
- heigh:t 1.320 mm
PUNA Wulung ini bisa dibilang kelas menengah atau medium. Dapat
terbang dengan durasi mencapai waktu 4 jam dengan muatan yang cukup
lumayan, hingga bisa dipakai untuk membuat hujan buatan maupun
penyebaran benih,” tutur Dahsyat. PUNA Wulung ini, misi terbangnya high-high-high. Maka ke depannya akan dapat dieksplorasi lagi untuk kebutuhan dan kepentingan lain.
6. GTSI PUNA Kujang
PUNA Kujang dibuat oleh PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI) yang didirikan oleh Endri Rachman, mantan karyawan PT DI yang hijrah ke Malaysia dan menjadi dosen di Universiti Sains Malaysia. Beliau dan bersama sesama mantan karyawan PT DI mendirikan perusahaan PT GTSI.
UAV perdananya adalah Kujang, mampu membawa muatan kamera
survaillance 20 kg, lama terbang 2-3 jam dengan kecepatan maksimal
sampai 150 km/jam. Ironisnya, peminat pertama UAV Kujang ini adalah
Malaysia, bukan pemerintah Indonesia.
7. Uavindo UAV Survaillance SS-5 (SkySpy-5)
UAV SS-5 (SkySpy-5) adalah produk pertama yang dibuat oleh PT Uavindo pada tahun 2003 yang kemudian menjadi UAV lokal pertama yang dioperasikan oleh militer, lengkap dengan Ground Control Station yang ditempatkan pada sebuah truk Perkasa keluaran Texmaco.
Sedangkan
perusahaan ini sudah mengembangkan UAV sejak 1994 di mana dimulai dengan
berkumpulnya para insinyur lulusan Teknik Penerbangan ITB dengan
dimotori Dr Djoko Sardjadi. SS-5 (SkySpy-5) mampu terbang selama 2-3 jam dengan jarak sampai 25
km untuk fungsi survaillance melalui kamera yang dibawanya.
Saya tidak
tahu apakah TNI masih menggunakan produknya (selanjutnya ada
pengembangan ke SS-20), tapi ironisnya Malaysia memesan UAV SM-75 dari
perusahaan ini.
8. Aviator UAV SmartEagle II
UAV SmartEagle II dibuat oleh PT Aviator Teknologi Indonesia,
yang dibentuk oleh beberapa mantan karyawan PT Uavindo. Produk
unggulannya adalah SmartEagle II, yang mampu terbang selama 6 jam dengan
jarak maksimum 300 km.
Produk ini bisa diadu dengan Searcher Mk II dari Israel, hanya
sayangnya berat muatan maksimum hanya sampai 20 kg, bandingkan dengan
beban 100 kg yang mampu dibawa oleh Searcher Mk II. Sekarang PT Aviator
menggandeng Irkuts dari Rusia untuk memasarkan produknya secara
bersama-sama.
9. ITB HexaRotor
Hexa berarti enam, dan rotor berarti motor, menjadikan nama PTTA HexaRotor yang berarti ‘Enam Motor’ dengan propeller atau baling-baling yang terbuat dari bahan carbon fiber ini dapat take-off atau lepas landas secara vertikal, mirip helikpter.
Pada masa kini PTTA jenis ini kadang disebut sebagai CamDrone (Camera Drone) yang banyak digunakan untuk pemantauan dengan kamera karena dapat terbang stabil bahkan diam, mirip helikopter. Pesawat buatan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini terdiri dari tiga tipe.
• HexaRotor Tipe Kecil, berbentuk persegi dengan ukuran 15 cm x 15 cm, dilengkapi dengan 4 baling-baling kecil.
• HexaRotor Tipe Sedang, berbentuk persegi dengan ukuran 60 cm x 60 cm dan dilengkapi dengan 6 baling-baling kecil.
• HexaRotor Tipe Besar, berbentuk persegi dengan ukuran 1 m x 1 m serta dilengkapi 8 baling-baling kecil.
Tiap tipe HexaRotor diatas, semuanya tetap dapat dilengkapi kamera.
Alat yang diproduksi oleh ITB sejak tahun 2010 lalu ini biasanya
digunakan sebagai surveyor, istilah untuk pemantauan dan
pengamatan. Tak sekedar hanya untuk mengintai, penggunaannya pun lebih
luas, misalnya saja dapat digunakan perusahaan real estate jika ingin memantau dari atas.
Untuk sementara PTTA HexaRotor masih diterbangkan dengan menggunakan remote control. Namun suatu saat dapat dikembangkan dengan mengontrolnya lewat Ground Control Station. Pesawat ini baru mampu terbang maksimal setinggi 170 m, dengan waktu
terbang maksimal 20 menit.
HexaRotor juga bisa digunakan untuk memantau
kemacetan dan kebanjiran di kota. Suatu saat HexaRotor dapat
dikendalikan via satelit. Dibanyak negara maju, drone jenis ini jauh lebih classified
dibanding drone biasa karena kemampuannya dapat “terbang melayang lalu
diam”. Inilah yang menyebabkan banyak orang mengira bahwa mereka telah
melihat UFO.
10. UAV Autopilot SuperDrone
TNI AD menggaet Universitas Surya yang didirikan Prof .Yohanes Surya untuk membuat alat-alat pertahanan, termasuk pesawat nir-awak alias Drone yang diberi nama UAV Autopilot SuperDrone. Bahan pesawat ini dari fiber, besarnya 6×4 meter. Jam terbangnya 6-8 jam. Diberi tangki cadangan namun bisa digunakan juga untuk benda lain.
Dapat terbang malam dan dilengkapi Thermal Camera (kamera pemantau panas). SuperDrone ini menggunakan teknologi Autonomous Return To Base. Untuk saat ini pesawat nir-awak ini lepas landas dan pendaratannya
masih manual namun setelah itu bisa autopilot. Masih dikembangkan agar take of dan landing-nya
juga bisa autopilot.
Pengerjaan baru mulai November 2014 dengan tim
(yang terdiri) 15 orang. Untuk sementara, PTTA ini untuk pesawat
latihan. Kedepannya, teknologi Pesawat Tanpa Awak UAV Autopilot SuperDrone ini akan dikombinasikan dengan teknologi Open Base Transceiver System
(BTS) yang penggunaannya dapat untuk memantau perbatasan. Selain itu,
segera akan digunakan combine open BTS dgn UAV untuk pengamanan
perbatasan.
11. UAV Lapan Surveillance Unmanned (LSU)
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) sudah sejak beberapa tahu lalu serius menggarap dan mengembangkan pesawat tanpa awak. Lembaga itu sudah membuat PTTA Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle.
Ada beberapa jenis LSU yang telah dbuat LAPAN:
• Lapan Surveillance UAV-01X (X-periment)
• Lapan Surveillance LSU 02
• Lapan Surveillance LSU 03
Setelah memproduksi pesawat tanpa awak jenis Lapan Surveillance UAV-01X dan Lapan Surveillance LSU 02, Lapan juga mempunyai Lapan Surveillance LSU 03. Ukuran pesawat tanpa awak yang terakhir itu lebih besar dari seri sebelumnya yaitu LSU 02.
LSU 03 bentangannya 5 meter itu hanya bentang sayap, sedangkan
badannya 4 meter. Daya jelajah 400 km dengan ketinggian antara
3.000-4.000 meter. Secara total, jumlah koleksi pesawat tanpa awak milik
Lapan berjumlah 3 unit.
12. UAV Tamingsari
UAV Tamingsari ini dibuat oleh Endri Rachman, sudah terbang namun masih dalam taraf penyempurnaan.
Spesifikasi Pesawat Tanpa Awak UAV Tamingsari:
- Cruise Speed : 100 km/h
- Cruise Altitude: 1000 m
- Endurance: 2 – 3 Hours
- Take off weight : 20 kg, payload (camera): 5 kg
- Stall Speed : 40 km/h.
13. UAV Keris
UAV Keris ini dibuat oleh Endri Rachman, sudah terbang namun masih dalam taraf penyempurnaan.
14. GTSI UAV Bumereng
UAV Bumerang dibuat oleh PT Globalindo Technology Services Indonesia (GTSI).
Keberadaan PUNA (Pesawat Udara Nir-Awak) di Indonesia
Sama seperti negara asing lainnya, PUNA bisa difungsikan sebagai alat penjaga perbatasan wilayah, apalagi Indonesia dengan luas wilayah yang besar diselingi beberapa kepulauan. Selama ini Indonesia selalu dipusingkan dengan batas wilayah dan sering berseteru dengan Malaysia.
Fungsi drone sebagai alat pertahanan akan lebih tepat digunakan untuk
operasi militer, terutama serangan darat. Secara umum, fungsi drone
adalah untuk menyerang, bukan untuk menangkap para pelanggar hukum.
Drone akan lebih efektif untuk memantau perbatasan daratan.
Dalam kegiatan pengawasan wilayah, jumlah ideal yang harus dimiliki
Indonesia adalah sekitar 15. Namun jumlah tersebut bukan menunjuk ke
jumlah unit drone, melainkan jumlah pangkalan PUNA yang harus dibangun.
Dalam masing-masing pangkalan itu diisi oleh minimal 3 unit PUNA yang
bekerja secara terus menerus selama 24 jam untuk melakukan pengawasan.
Tentunya dengan luas wilayah yang besar seperti Indonesia, mungkin
lebih banyak lagi. Idealnya mungkin minimal 15 pangkalan untuk mengawasi
wilayah secara komprehensif. 15 pangkalan ini bisa lebih atau kurang
tergantung kecanggihan teknologinya. Akan tetapi untuk saat ini,
Indonesia membutuhkan minimal 3 pangkalan di setiap daerah.
Daerah
tersebut, khususnya adalah yang sering terjadi pelanggaran hankam. Sejatinya, riset pengembangan teknologi drone telah berlangsung di
Indonesia sejak tahun 2000. Namun segala aspek yang menyertainya membuat
pengembangan drone tidak bisa dilakukan oleh lembaga tertentu saja.
Akhirnya dibentuklah konsorsium yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia (DI), Lembaga Elektronik Nasional (LEN), BPPT dan LAPAN. Masing-masing lembaga, berturut-turut memiliki fungsi produksi, penyediaan sistem komunikasi dan elektronik, dan riset pengembangan.
Di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), drone disebut sebagai Lapan LSU atau Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle. Sama halnya dengan Pesawat Udara Nirawak (PUNA) di BPPT.
Selain untuk memonitoring bencana, pemetaan wilayah, dan pertahanan
negara, drone atau PUNA sejatinya bisa memiliki kemampuan untuk menjadi
alat perang agar menjadi pelengkap persenjataan TNI.
Rahasia Indonesia Miliki UAV Heron Buatan Israel
Selama ini, Indonesia telah memiliki UAV Heron buatan Israel untuk
memantau garis batas untuk menjaga kedaulatan negaranya. Jadi, TNI saat
ini memiliki dua jenis UAV/PUNA modern, Wulung dan Heron buatan Israel,
hasil kerja konsorsium.
Meski ke-12 PUNA, yang terdiri dari 8 Wulung dan 4 Heron ini, akan
mampu menjaga pertahanan wilayah Indonesia namun masih terbatas pada
pengawasan wilayah. PUNA tersebut belum bisa dijadikan alat persenjataan
pendukung perang.
Tentunya lebih canggih Heron. Kemampuan terbangnya 350km secara terus
menerus selama 52 jam dengan kecepatan 207 km/jam. Heron layak menjadi
drone pengintai. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang
didukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data
secara realtime.
Jika Wulung merupakan buatan lokal anak bangsa, 4 PUNA Heron bisa dikatakan sebagai buatan Israel Aerospace Institute (IAI). Oleh karena itu, lanjut Ajie, Indonesia wajib menguasai teknologi UAV. Bila kita dapat menguasai teknologi UAV, bukan hal yang sulit bila nantinya Indonesia ingin mengembangkan UCAV (Unmanned Combat Aerial Vehicle), yang dipersenjatai.
Kendala Pengembangan PUNA
Di Indonesia, dana yang minim dan pesimisme masyarakat Indonesia
terhadap produk lokal membuat teknologi UAV tersendat. Pemerintah seolah
tak peduli dengan teknologi pesawat tanpa awak ini. Jika UAV saja belum
bisa dibuat, jangan pernah berharap untuk merencanakan Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV).
Sejak 2004, masuk ke program Litbang BPPT. Dana yang dihabiskan
kurang lebih 20 miliar. Kalau jumlah drone yang dimiliki TNI, mereka
yang lebih tahu. Untuk yang di BPPT, karena drone atau PUNA adalah
sebuah sistem maka yang siap terbang ada 4 unit. Hanya 4 itu yang
memiliki kelengkapan sistem.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com,
dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$26
miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai
US$2,1 miliar atau sekitar Rp21 triliun.
PT Robo Aero Indonesia (RAI) didirikan oleh beberapa dosen ITB yang
melihat peluang besar bisnis UAV di dalam maupun luar negeri. Mereka
sudah membuat prototipe UAV dengan jarak operasional 20 km, 50 km dan
100 km secara otonomi. UAV buatan mahasiswa Teknik Penerbangan ITB sudah
mampu unjuk gigi dengan menjuarai kontes UAV di Taiwan dan Korea
Selatan.
BPPT juga sudah membuat beberapa prototipe UAV yang dalam
produksi dan pemasarannya menggandeng PT Aviator dan UKM Djubair OD di
Tangerang. Sedangkan LAPAN, yang membuat Lapan Surveillance Unmanned (LSU) Aerial Vehicle,
saat ini telah mengembangkan seri 05 yang berfungsi untuk pemetaan.
Lembaga swasta yang melakukan riset ini ada beberapa seperti UAVindo dan Proboaero di Bandung, sedangkan di Jakarta terdapat 5 perusahaan sejenis.
Selain Wulung, BPPT juga memproduksi Sriti. Bahkan dalam kurun 5 tahun ke depan, BPPT akan mengembangkan PUNA yang lebih canggih dari Wulung, diberi nama Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Untuk desain pesawat, 100 persen sudah Indonesia sendiri. Tapi untuk
sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari
Eropa maupun Amerika Serikat. Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan
investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta.
Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa
diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara. Demikian juga dengan sistem
komunikasinya. Meski bisa menggunakan ground station, teknologi satelit
dinilai lebih mumpuni.
Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer
biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan foto kelas
UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa
luas wiliayah, sekitar Rp10 juta sampai Rp30 juta, tergantung dengan
perjanjiannya pekerjaannya.
Oleh karena itu, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone
terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone
buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan
kerahasiaan negara lebih terjamin.
Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu
kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator.
Ketergantungan perangkat asing akan memberikan kekhawatiran
tersendiri terkait pengintaian keamanan negara. Artinya, sudah saatnya
Indonesia menghentikan ‘kecanduan’ perangkat asing. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi macam drone.
Sumber daya sudah mumpuni, tinggal menunggu keseriusan pemerintah dalam
hal pendanaan demi pertahanan negara.
Malaysia Pakai Karya Ilmuwan Indonesia Untuk Jaga Perbatasan dengan RI
Banyak karya anak bangsa yang mendunia. Namun ironisnya, kurang
dihargai di negeri sendiri. Akibatnya, banyak ilmuwan asal Tanah Air
terpaksa hijrah ke luar negeri. Salah satunya, Profesor Josaphat Tetuko
Sri Sumantyo, yang telah ratusan kali melakukan presentasi di berbagai
negara dan mengantongi 120 hak paten.
Pesawat terbang tanpa awak (PTTA), radar, dan satelit adalah
teknologi yang telah membawa guru besar Universitas Chiba, Jepang itu
dikenal dunia Internasional. Josh, begitu pria asal Bandung Jawa Barat
ini dipanggil, dipercayakan Universitas Chiba mengelola dan mengepalai
laboratorium sendiri bernama Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL).
Di laboratorium itu, ia bersama beberapa rekannya melakukan riset dan rekayasa. Hasilnya, JX-1, PTTA atau UAV (unmanned aerial vehicle) ini menjadi terbesar yang dibuat di Asia. JX-1 rampung dibuat sejak 2012 lalu.
Karya yang ia kembangkan pun mendapat perhatian dari sejumlah negara,
seperti Malaysia dan Jepang melalui program transfer teknologi. Josh menuturkan, sejak tahun 2010 Pemerintah Malaysia telah melakukan kerjasama dengan dirinya melalui Japan Internasional Cooperation Agency-Japan Science and Technology Agency with Official Development Assistance atau JICA-JST ODA, program Pemerintah Jepang.
PTTA atau UAV yang diminati pemerintah Malaysia ini pun telah
berjalan dan rencana tahun 2015 telah selesai. Pemerintah Malaysia akan
menggunakan PTTA tersebut untuk membantu menjaga tapal batas dengan
Indonesia.
“Khusus untuk pemerintah Malaysia, yang dapat digunakan untuk
pengamatan perbatasan Indonesia dan Malaysia,” ungkap pria murah senyum
ini. Josh juga berharap, Indonesia — negaranya sendiri — pun ke depan
berminat mengaplikasikan teknologi yang ia kembangkan. Selain PTTA, sejumlah kerjasama juga dilakukan bersama pemerintah
Malaysia seperti pengembangan penginderaan jauh. Teknologi ini
diharapkan bisa membantu pengamatan bencana alam di negeri jiran.
“Kerjasama lainnya adalah bantuan supervisi untuk pengolahan data SAR
ini yang dapat mengetahui perubahan permukaan Bumi dengan akurasi
milimeter dengan pengamatan dari jarak lebih dari 700 km dengan berbagai
aplikasinya misalnya pengamatan tanah longsor, penurunan tanah, dan
lain-lain di wilayah Malaysia berikut pengembangan SDM Malaysia,” imbuhnya.
Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah suatu bentuk radar
yang digunakan untuk membuat gambar dari obyek, seperti landscape. SAR
biasanya dipasang di pesawat atau pesawat luang angkasa dan berasal
sebagai bentuk lanjutan dari Side Looking Airborne Radar (SLAR). Jarak perangkat SAR dikirimkan melalui Antenna Aperture.
Di teknologi ini Josh juga berhasil menciptakan antena tembus pandang (transparent antenna), antena mikrostrip yang dapat digunakan berkomunikasi dengan satelit dan berbagai jenis antena untuk keperluan mobile satellite communications. Dalam penelitian ini, ia bergabung dengan laboratorium Prof. Ito Koichi.
Selain itu banyak penemuan yang telah ia hasilkan, seperti circularly polarized synthetic aperture
untuk PTTA, radar peramal cuaca 3 dimensi dan small satelite. Saat ini
Josh bersama rekan dan mahasiswanya di Universitas Chiba mengembangkan
JX-2, UAV model baru yang lebih canggih dan lebih ringan.
Ilmuwan-Ilmuwan Indonesia harus “Pulang Kampung”
TNI AD telah meluncurkan 15 alat pertahanan hasil riset dengan
Universitas Surya yang didirikan pakar fisika Prof Yohanes Surya.
Alat-alat pertahanan itu dari pesawat tanpa awak alias drone hingga
motor yang bisa terbang bak ‘Transformers’.
Alat-alat itu pernah dipamerkan di Mabes TNI AD, Jalan Veteran,
Jakarta Pusat, Senin (7/4/2014) lalu. KSAD Jenderal Budiman meluncurkan
alat-alat pertahanan ini di depan Pangdam se-Indonesia melalui
teleconference.
Riset ini pada akhirnya digunakan untuk kemandirian bangsa dan
negara, sebab ada yang langsung berguna sebagai alat pertahanan negara.
Kemudian dapat bermanfaat untuk negara dan masyarakat. Dengan hasil dari
riset ini, kita bisa menghemat pengeluaran negaera karena tidak perlu
membeli alat dari luar.
Dana dalam riset ini sebesar Rp 31 miliar untuk 15 riset, artinya
dana yang digunakan dari APBN hanya kecil. Sedangkan pendiri Universitas
Surya, Prof Yohanes Surya, mengatakan riset ini adalah hasil dari riset
ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang dipanggil pulang kampung.
“Ilmuwan kita bisa bersaing dengan negara lain. Ilmuwan hebat kita di
negara lain kita panggil pulang, sehingga kita tidak perlu takut. Kita
sudah sejajar dengan negara lain,” tutur pria yang tenar dalam mendidik
anak-anak sekolah dalam Olimpiade Fisika Internasional dan banyak di antaranya menjadi pemenang.
Kebutuhan dan keberadaan Drone semakin mendunia
Dalam 10 tahun terakhir, minat militer Amerika untuk perangkat pengintai dan pertahanan telah memicu pengembangan drone. Northrop Grumman, Boeing, General Atomics dan Lockheed Martin merupakan empat besar manufaktur drone.
Jepang dan Tiongkok pun mulai melirik drone atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) untuk mempertahankan wilayah keduanya yang berbatasan. Business Insider pernah melaporkan bahwa pasar drone untuk kebutuhan militer akan mencapai US$8,2 triliun pada 2022 nanti.
Dalam laporan tersebut diprediksi bahwa Amerika tidak akan lagi
mendominasi sebagai konsumen drone. Tiongkok dan Rusia akan menggantikan
posisi Amerika. Bahkan dari sisi pengembangan, Tiongkok dan Rusia akan memiliki
kemampuan untuk menyaingi drone Amerika dalam kurun 10 tahun ke depan.
Kedua negara telah berkomitmen untuk menginvestasikan sekian dana
untuk riset dan perkembangan drone, khususnya drone untuk kegiatan
militer yang lengkap dengan persenjataan. Dana riset yang tidak mencukupi membuat pengembangan drone buatan lokal Indonesia mengambang.
Dari beberapa drone yang dimiliki, hampir semua berupa prototipe.
Meski ada beberapa yang telah siap terbang namun infrastrukturnya masih
harus ditunggu.
Lapan Kembangkan Pesawat Pengamat Wilayah (LSA)
Pada masa kini, Lapan juga sedang mengembangkan jenis pesawat dengan awaknya yang berguna untuk pemantau yang dinamakan Lapan Surveillance Aircraft (LSA). Jadi, kini Indonesia memiliki Pesawat Pengamat Wilayah (PPW). Lapan bekerja sama dengan Universitas Berlin, Jerman, berhasil mengembangkan pesawat pengamat yakni Lapan Surveillance Aircraft
(PK-LSA01).
Pesawat ini menjadi bagian pemanfaatan untuk kepentingan
memotret wilayah di Indonesia. Selasa (28/1), Kepala Lapan, Bambang S.
Tejasukmana meresmikan Pesawat LSA di Balai Besar Kalibrasi Fasilitas Penerbangan (BBKFP) Ditjen Perhubungan Udara, Curug, Tangerang.
Program pesawat LSA ini merupakan bagian dari program utama Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) Lapan. Selain LSA, Pustekbang juga memiliki program pengembangan pesawat tanpa awak (Lapan Surveillance UAV – LSU) dan program pengembangan pesawat transport nasional (N-219).
Pesawat LSA memiliki beberapa misi yakni akurasi citra satelit,
verifikasi dan validasi citra satelit, monitoring produksi pertanian,
aerial photogrammetry, pemantauan, pemetaan banjir, deteksi kebakaran,
search and rescue (SAR), pemantauan perbatasan dan kehutanan, serta
pemetaan tata kota.
Misi pesawat LSA ini dapat memperkuat sistem pemantauan nasional.
Indonesia yang berpulau ini sangat memerlukan sistem pemantauan wilayah.
Selain menggunakan teknologi satelit, diperlukan pula sistem pemantauan
yang lebih impresif dengan menggunakan pesawat terbang. LSA tersebut
sekaligus memperkuat penguasaan teknologi terbaru pesawat terbang.
Pesawat LSA ini juga mampu mengakurasikan data dari foto citra
satelit dengan resolusi tinggi yang telah digabung dengan
satelit-satelit lain, dan mampu konfirmasi ulang langsung di lapangan
secara acak. Dengan kemampuan terbang non-stop selama 6-8 jam, jangkauan
tempuh 1.300 kilometer, dan dapat membawa muatan hingga 160 kg, LSA ini
berpotensi untuk melakukan patroli sistem kelautan di Indonesia.
Lapan menargetkan selama lima tahun ke depan, pesawat ini dapat
memiliki fungsi autonomous. Menurut ia, keuntungan sistem autonomous
selain dapat bermanuver secara otomatis, kualitas dalam menjalankan misi
surveillance dapat lebih presisi, efisien, dan efektif.
Dalam skema prosesnya, awalnya pesawat ini masih dikendalikan oleh
pilot untuk lepas landas dan mendarat. Dan setelah mengudara, sistem
autonomous ini akan aktif sehingga tidak memerlukan kendali dari pilot.
Namun, jika ada hal yang tingkat urgensitasnya tinggi, pilot dapat
mengintervensi.
LSA yang terbaru yang dibuat adalah series Lapan Surveillance LSA 05. Tipenya bukan LSU lagi, tapi sudah LSA atau Lapan Surveillance Aircraft 05, yang prototipe-nya sudah disiapkan tinggal uji terbang.
LSA 05 ini lebih canggih dan ukurannya lebih besar dan kapasitas
bahan bakar lebih banyak.
Nantinya pesawat tanpa awak jenis LSA 05 ini
juga dapat digunakan untuk pemadaman kebakaran hutan dan keperluan
pemantauan strategis lainnya. Pesawat ini mampu terbang non-stop selama 6-8 jam dengan jangkauan
tempuh hingga mencapai 1.300 km dan tinggi hingga lebih dari 5.000 meter
serta mampu membawa beban hingga 160 kg.
Komponen produk PTTA ini tidak sepenuhnya buatan lokal. Namun masih
ada yang harus diimpor, seperti mesin dan motor penggerak. Selain motor
dan mesin, komponen lainnya murni dibuat di Indonesia. Jadi, porsi
komponen lokal PTA yang dibuat Lapan jauh lebih besar dibandingkan
komponen impornya.
Sumber : (indocropcircles)
EmoticonEmoticon