Menteri Pertahanan Tiongkok, Chang Wanquan, berharap agar Tiongkok dan Indonesia dapat memperdalam kerja sama pragmatis dan mempromosikan hubungan militer. (Reuters/Sergei Karpukhin) |
Pengadilan arbitrase internasional di Den Haag soal gugatan Filipina
kepada Cina dalam sengkarut di Laut Cina Selatan mengumumkan akan
membacakan keputusan pada 12 Juli mendatang. Tapi Cina telah mengecam
dan menyatakan menolak yurisdiksi tribunal.
”Sekali lagi saya tekankan pengadilan arbitrase tidak punya
yurisdiksi dalam kasus dan masalah yang relevan, dan tidak seharusnya
menggelar sidang atau membuat keputusan,” kata juru bicara Kementerian
Luar Negeri Cina, Hong Lei, dalam pernyataan di situs web resmi
kementerian, Kamis, 30 Juni 2016.
”Soal isu sengketa wilayah dan garis batas maritim, Cina tidak
menerima penyelesaian sengketa dari pihak ketiga dan juga penyelesaian
yang dipaksakan atas Cina,” dia menambahkan. Manila mengajukan gugatan terhadap Beijing pada awal 2013.
Alasannya,
setelah 17 tahun bernegosiasi, mereka sudah kehabisan cara politik
ataupun diplomatik untuk menyelesaikan sengketa. Filipina menggugat
klaim sejarah Cina atas 90 persen Laut Cina Selatan. Sejak awal, Cina
telah menolak pengadilan arbitrase dan tidak mau hadir dalam setiap
sidang.
Kementerian Luar Negeri Filipina berharap Cina mematuhi keputusan
pengadilan. ”Meski tidak hadir, Cina tetap menjadi pihak dalam arbitrase
dan terikat di bawah hukum internasional oleh keputusan tribunal,” kata
Kementerian Luar Negeri Filipina dalam pernyataannya, Kamis.
Menurut Damos Domuli Agusman, pakar hukum internasional yang juga
dosen di Universitas Indonesia dan Universitas Pelita Harapan, dari 15
butir gugatan Filipina dapat disarikan menjadi tiga pokok persoalan.
Pertama, soal sembilan garis putus (dash line) yang tertera pada peta Cina, apakah bertentangan dengan hukum laut internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Pertama, soal sembilan garis putus (dash line) yang tertera pada peta Cina, apakah bertentangan dengan hukum laut internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Kedua, apakah pulau/karang yang dikuasai Cina di Laut Cina Selatan
berhak atas zona ekonomi eksklusif (ZEE) landas kontinen. Terakhir, soal
apakah aktivitas reklamasi pulau/karang di Laut Cina Selatan melanggar
ketentuan UNCLOS tentang perlindungan lingkungan laut.
“Putusan tribunal
tidak akan memenangkan atau mengalahkan penggugat atau tergugat. Sebab,
karakter putusannya hanya bersifat menafsirkan pasal-pasal UNCLOS
terhadap fakta hukum yang dipersoalkan,” kata Damos.
Meskipun tidak menyelesaikan sengketa, keputusan itu dapat memecahkan teka-teki soal klaim sejarah sembilan dash line dan status pulau/karang di Laut Cina Selatan.
Meskipun tidak menyelesaikan sengketa, keputusan itu dapat memecahkan teka-teki soal klaim sejarah sembilan dash line dan status pulau/karang di Laut Cina Selatan.
“Jika dua hal ini terjawab, maka dasar-dasar
perundingan bagi negara yang bersengketa akan makin jelas,” ujar Damos
lagi. Bagi Indonesia, menurut Damos, keputusan arbitrase tidak mengubah apa
pun. Malah akan memastikan tidak adanya tumpang-tindih maritim dengan
Cina seperti yang berulangkali ditegaskan Indonesia.
Sumber : JakartaGreater.com
EmoticonEmoticon