Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang memenangkan gugatan
negara Filipina atas Cina di Laut Cina Selatan akan menguntungkan
Indonesia apabila muncul sengketa perbatasan dengan Cina. Pakar hukum laut mengatakan putusan tersebut akan menjadi sumber
hukum internasional atas klaim historis Cina di wilayah perairan
Indonesia di kawasan Natuna.
Walaupun Cina dan Indonesia selalu menyatakan tidak ada masalah
perbatasan perairan, tetapi insiden penangkapan kapal-kapal nelayan Cina
oleh TNI baru-baru ini di perairan Kepulauan Natuna, membuktikan
masalah itu nyata.
Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional
penangkapan ikan mereka. Sebuah sikap yang jelas-jelas ditolak oleh
Indonesia dengan mengedepankan klaim Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Guru besar kajian hukum laut dari Universitas Padjajaran, Bandung, Etty Agoes, mengatakan klaim historis Cina atas wilayah Natuna itu, jika nantinya menjadi sengketa terbuka dengan Indonesia, dapat dilemahkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase tersebut.
Guru besar kajian hukum laut dari Universitas Padjajaran, Bandung, Etty Agoes, mengatakan klaim historis Cina atas wilayah Natuna itu, jika nantinya menjadi sengketa terbuka dengan Indonesia, dapat dilemahkan dengan putusan Mahkamah Arbitrase tersebut.
“Kita dapat gunakan (putusan Mahkamah Arbitrase) nanti seandainya ada
apa-apa (sengketa) dengan Cina,” kata Etty Agoes kepada BBC Indonesia,
Selasa (12/07) malam. Menurutnya, putusan itu ‘menguntungkan’ Indonesia karena keputusan pengadilan merupakan sumber hukum internasional.
“Karena keputusan pengadilan itu dikenal di dalam hukum internasional, yaitu salah-satu sumber hukum internasional,” tambahnya. Selain itu, lanjutnya, putusan Mahkamah Arbitrase yang menolak klaim
historis Cina atas Laut Cina Selatan dapat digunakan Indonesia untuk
masalah di perairan Natuna.
Selama ini Cina mengklaim perairan Natuna sebagai wilayah tradisional nelayan mereka mencari ikan. “Putusan pengadilan itu menguatkan bahwa alasan histotis tersebut
tidak ada landasan hukumnya. Kita bisa adu argumentasi pada landasan
hukumnya,” jelasnya.
Kemenlu serukan menahan diri
Bagaimanapun, tidak lama setelah Filipina memenangkan gugatan atas
Cina di Laut Cina Selatan, situs resmi Kementerian Luar Indonesia
mengeluarkan pernyataan yang isinya agar semua pihak menahan diri.
“Semua pihak dapat menahan diri serta tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan,” demikian keterangan resmi Kemenlu Indonesia dalam situs resminya, Selasa (12/07).
“Semua pihak dapat menahan diri serta tidak melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan ketegangan,” demikian keterangan resmi Kemenlu Indonesia dalam situs resminya, Selasa (12/07).
Indonesia menyerukan pula semua pihak melanjutkan komitmen bersama
untuk menegakkan perdamaian, serta menunjukkan persahabatan dan
kerjasama. “Tetap berperilaku sesuai prinsip yang telah disepakati bersama,” lanjut Kemenlu.
Tetapi sejumlah analisa menyebutkan Indonesia telah memperkuat
kehadiran militernya secara mencolok di Natuna, sebuah pulau yang kaya
akan gas alam. Kehadiran Presiden Joko Widodo di kapal perang yang berpatroli di
perairan Natuna beberapa waktu lalu, tidak lama setelah insiden
kehadiran kapal-kapal nelayan Cina di perairan itu, dianggap sebagai
menguatkan analisa itu.
Namun politisi Partai Golkar yang membidangi bidang pertahanan dan
hubungan luar negeri, Agun Gunandjar, meminta Indonesia lebih
mengutamakan pendekatan diplomasi. “Lebih baik hubungan diplomatik dulu. Jauh lebih baik, komprehensif,
dan lebih memadai,” kata Agun kepada BBC Indonesia, Selasa malam.
Dia juga meminta Indonesia menguatkan wilayah perbatasan. “Menjaga,
merawat dan memaksimalkan wilayah yang menjadi wilayah teritorial,”
tegas Agun. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dalam wawancara dengan BBC
Indonesia baru-baru ini menjelaskan rencana Indonesia untuk meningkatkan
kekuatan militer di kawasan tersebut.
Sumber : BBC.com
EmoticonEmoticon